“Harta yang paling berharga adalah keluarga, istana yang paling indah adalah keluarga, puisi yang paling bermakna adalah keluarga, mutiara tiada tara adalah keluarga…” mungkin kita masih akrab dengan penggalan lagu tersebut, lagu tersebut merupakan soundtrack sebuah drama seri keluarga yang pernah tayang disalah satu TV swasta kebanggaan Indonesia, ya drama seri “Keluarga Cemara” sangat akrab dimata saya sejak tahun 1990-an. Ceritanya sederhana, latar filmnya juga sangat sederhana tapi yang membuat film ini masih teringat dibenak saya sampai saat ini karena film ini sarat makna. Apa yang menjadi kekayaan keluarga ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah karena mereka memiliki kasih yang besar antar sesama anggota keluarga, inilah yang akan banyak saya ceritakan, sebuah kekayaan yang dimiliki sebuah keluarga.
Saya anak kedua dari empat bersaudara, lahir dari orang tua yang tidak memiliki kekayaan financial namun kaya relasi, tidak juga memiliki kekayaan ilmu pengetahuan namun cerdas, tidak memiliki status sosial yang tinggi namun dihargai. Mengapa ini saya sebutkan diawal? Karena saya ingin anda melihat lebih jauh kekayaan yang Tuhan anugerahkan kepada orang tua saya yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun.
Pertama, tidak memiliki kekayaan financial namun kaya relasi.
Mereka adalah sosok yang pekerja keras, siang malam mereka bekerja membanting tulang untuk menghidupi kami anak-anaknya, namun dibalik kerja keras mereka saya tahu bahwa mereka tidak memiliki apa-apa kecuali apa yang akan kami makan hari itu. Mereka tidak pernah mengeluh sekalipun kami anak-anaknya kadang-kadang banyak omelan ketika apa yang kami butuhkan tidak cukup untuk kami. dan anehnya ditengah kondisi itu mereka masih sering berbagi pada tetangga yang juga memiliki kondisi financial yang cukup memprihatinkan. Kadang-kadang saya tidak habis pikir kenapa mereka mau melakukan itu, seharusnya mereka memikirkan kami, atau seharusnya mereka simpan saja untuk kami esok hari. Belakangan baru kusadari ketika saya beranjak dewasa, inilah kekayaan yang mereka miliki - mereka suka menolong - dan mereka membaginya. Hal inilah yang membuat mereka punya banyak relasi yang baik dengan para tetangga. Dan tahukah anda bahwa nilai-nilai ini telah mereka wariskan kepada kami anak-anaknya - jiwa sosial yang tinggi.
Kedua, tidak memiliki kakayaan ilmu pengetahuan namun cerdas.
Ketika membicarakan bagian ini, sontak yang pertama terlintas adalah mama. Kenapa mama? Mamalah yang banyak mengambil andil dalam apa telah saya raih sampai hari ini. Sedikit mengenang masa kecil, saya adalah anak yang cukup berprestasi disekolah, saudara-saudara saya yang lain juga begitu. Ini kuceritakan bukan untuk mengekspose diri, tapi saya ingin anda tahu siapa dibalik keberhasilan itu. Sejak saya menginjakkan kaki dibangku sekolah dari TK bahkan sampai SMA mama selalu punya peran. Masih kental dalam ingatan saya bagaimana mama mendampingi saya ketika mengerjakan tugas-tugas sekolah. Hal yang sangat mahir dilakukannya adalah mengajarkan soal matematika, saya selalu sukses ketika berbicara soal pelajaran ini. Tapi jika dibandingkan kemampuan saya dengan mama waktu masih SMP, saya harus akui saya kalah telak – sekalipun pernah kusabet juara lomba matematika tingkat SMP se-kota Makassar tahun 1999. Bahkan ketika saya ‘ngelesin’ sejak usia SMA saya selalu ingat metode-metode yang mama ajarkan sejak kecil – langkah-langkah cepat menyelesaikan soal matematika- . Inilah kekayaan yang selalu dia bagi kepada anak-anaknya adalah kerja keras dan pantang menyerah. Dalam kondisi apapun tetap harus rajin belajar. Tidak sampai disitu, pola ini terus berlanjut sampai saya kuliah. Kuliah? Tidak pernah kubayangkan bisa sampai kejenjang ini. Rasanya masih mimpi ketika kukenang masa ini. Saya ingat betapa bergumulnya saya ketika saya harus menyelesaikan pendidikan di tingkat SMA. Semua teman-teman saya selalu menceritakan kampus mana yang akan mereka tuju setelah lulus nanti baik dalam kota maupun luar kota bahkan ada yang sampai keluar negeri,secara SMA Negeri 1 Makassar tempat saya menempuh pendidikan siswanya berasal dari berbagai latar belakang ekonomi yang berbeda, tapi jika dirata-ratakan sebagian besar mereka dari kalangan keluarga kelas menengah ke atas. Kuliah? memikirkannya pun tidak pernah, rasa-rasanya takut untuk bermimpi karena yang saya tahu, saya tidak bisa sampai ketahap itu karena kondisi financial orang tua saya tidak akan sanggup. Jika teman-teman saya bertanya rasanya bibir ini tiba-tiba kaku dan sulit untuk berbicara. Tapi papa saat itu berespon lain (papa juga punya peran yang luar biasa disini). Kuliah saja jika kamu mau, katanya, soal biaya nantilah papa yang pikirkan,kamu punya potensi yang besar sayang jika kamu tidak kuliah, lanjutnya. Inilah dorongan yang hebat yang saya rasakan, dorongan orang tua untuk anaknya. Inilah pula yang membuat saya bisa menyelesaikan kuliah dengan gelar cum laude, seorang wanita berusia 22 tahun saat itu mendapat gelar Mahasiswa lulusan terbaik dan lulusan tercepat. Tahukah anda betapa cerdasnya orang tua saya? Betapa besarnya dorongan yang mereka berikan kepada saya secara pribadi?. Mereka tidak pernah mengeyam dunia perkuliahan tapi dua orang anak perempuannya,saya dan adik saya berhasil dibuatnya menjadi sarjana, dan adik saya yang paling bungsu sementara berada di masa-masa akhir perkuliahan. Inilah yang saya maksud kekayaan yang mereka miliki, mereka sangat menyadari pentingnya pendidikan untuk anak dan mereka berjuang untuk hal itu.
Yang ketiga, tidak memiliki status sosial namun dihargai.
Kami tinggal di sebuah kompleks yang rata-rata penduduknya memiliki profesi sebagai tenaga pengajar, sebagian juga ada yang berprofesi sebagai PNS di instansi pemerintah. Dan sebagian lagi memiliki profesi yang beragam baik itu sebagai wiraswasta maupun sebagai buruh lepas. Papa sebagai buruh kayu, dan mama ditengah-tengah profesinya sebagai ibu rumah tangga memiliki pekerjaan sambilan sebagai tukang jahit. Kami terbiasa hidup dilingkungan yang penduduknya bervariasi baik dari latar belakang pendidikan yang berbeda, pekerjaan yang berbeda dan suku yang berbeda. Sebagai keluarga berdarah Tiong Hoa tidak sulit bagi kami untuk berelasi akrab dengan penduduk sekitar, mungkin karena perangai orang tuaku cukup supel sehingga tidak ada perbedaan diantara kami dan para tetangga. mungkin juga karena orang tuaku hobbi membagi-bagi makanan atau hanya sekedar berbagi bumbu dapur dengan tetangga. Inilah sebuah investasi yang orang tuaku tanamkan dalam dunia kemasyarakatan. Hal ini pulalah yang membuat mereka sangat dihormati oleh para tetangga. Untuk urusan kemasyarakatan di lingkup RT maupun RW, pendapat dan keterlibatan papa sangat dibutuhkan. Ia sudah dianggap sebagai ‘orang tua’ dilingkungan kompleks kami. inilah yang saya maksud kekayaan yang mereka miliki, tidak punya status sosial sebagai orang terpelajar tapi sangat dihargai dan dihormati.
Diantara tiga kekayaan yang saya sebutkan ada satu kekayaan yang belum saya uraikan. Kekayaan inilah yang menjadi dasar dari tiga kekayaan yang sudah saya jelaskan. Kekayaan itu adalah kekayaan kasih. Apa yang membuat orang tuaku sanggup untuk melakukan hal-hal diluar dari apa yang dapat kami pikirkan itu karena mereka memiliki kekayaan kasih yang luar biasa yang Tuhan anugerahkan kepada mereka, dan kekayaan itu pulalah yang telah mereka wariskan kepada kami. kekayaan kasih ini tiap hari terus bertumbuh dalam keluarga kami, salah satu faktor, bagian terkecil mungkin yang pernah kuamati diam-diam di rumah dan menimbulkan pertanyaan dipikiranku, mengapa setiap kami (baca: anggota keluarga) selalu saja saling ‘mencari’ jika salah satu diantara kami belum ada dirumah?. Selain karena kekuatiran satu dengan yang lain, hal baru yang saya temukan dari pengamatan diam-diam itu adalah faktor rumah kami yang memiliki bangunan yang kecil, dengan ruang keluarga yang merangkap ruang nonton TV dan ruang makan dikelilingi dengan tiga ruang kamar yang masing-masing pintunya menghadap keruang keluarga tersebut. Sontak membuat saya tersadar, inilah salah satu faktor pembangkit kasih dan perhatian diantara kami – tentunya masih ada faktor penunjang yang lain-, ya rumah yang kecil membuat kami setiap hari selalu bertemu dalam ragam aktivitas yang ada. Mau makan akan bertemu sekalipun yang lain sementara menonton tv atau yang lain sementara duduk-duduk santai dan sekedar membaca buku. Tanpa disadari tertanam dalam benak kami untuk selalu mencari satu sama lain jika yang lain tidak berada dirumah, atau dengan kata lain akan sangat mudah kelihatan dalam pandangan kami jika salah satu anggota keluarga tidak berada dirumah. Dan inilah yang menimbulkan rasa care yang semakin hari semakin bertumbuh dalam bangunan tipe 21 itu. Kekayaan inilah yang selalu kusebut pada rekan-rekan KTB ku (baca: Kelompok Tumbuh Bersama) sebagai kekayaan tipe 21. Kekayaan kasih yang timbul dalam bangunan tipe 21 itu tidak bisa dibayar dengan apapun, dalam bangunan ini kehangatan keluarga kami terbangun, dalam bangunan ini perhatian seorang dengan yang lain terpelihara, dan dalam bangunan ini pun konflik diantara kami sering terjadi, tapi saya menyadari bahwa konflik itu menolong kami untuk dapat saling membangun satu dengan yang lain. Terlihat bagaimana kami menghadapi dan menyelesaikan konflik diantara kami baik kepada orang tua maupun kepada saudara menolong kami untuk dapat menyelesaikan konfilk dengan orang lain dan menolong kami untuk berelasi dengan murni kepada orang lain. Sekali lagi hal ini tidak dapat dibayar dengan apa pun, namun tiap keluarga dapat menciptakan suasana yang hangat dengan cara dan peran mereka masing-masing dalam keluarga tersebut dan tentunya Kristuslah yang harus menjadi kepala dalam rumah tangga itu.
Saya sangat meyakini bahwa keluarga mengambil peran yang sangat penting dalam pertumbuhan setiap orang, baik itu pertumbuhan fisik, emosional, mental maupun spiritual. Oleh karena itu, latar belakang keluarga perlu mendapat perhatian khusus. Tidak ada keluarga yang sempurna – termasuk keluarga kami - dan seringkali dalam kelemahannya, keluarga tersebut hidup dalam nilai-nilai yang kurang sejalan dengan terang Firman Tuhan. Saya pun menyadari bahwa konflik seringkali muncul karena karakter yang berbeda dari tiap anggota keluarga, entah karena perbedaan pendapat atau karena mereka merasa terluka dengan keluarga itu sendiri. Latar belakang keluarga yang tidak sehat dapat mengakibatkan kita bergumul dengan perasaan-perasaan tertentu yang sangat menekan. Banyak orang bergumul dengan rasa minder, tidak berharga, tidak layak, bahkan tak jarang kita bertemu dengan orang-orang yang bergumul dengan emosi yang berlebihan seperti ketakutan, kemarahan, rasa malu dan rasa bersalah. Jika kita menghadapi konflik dalam keluarga yang tidak terselesaikan maka itu dapat menimbulkan akar pahit dalam diri anggota keluarga, dan kelak ketika mereka pun punya keluarga yang kelak akan mereka bangun, mereka akan membangunnya dengan keterlukaan yang mereka alami dalam keluarga induk mereka. Setiap orang yang tumbuh dalam keluarga yang terluka maka ia memiliki potensi yang besar untuk melukai orang lain juga. Disinilah peran orang tua sangat diperlukan, ketika mereka dipercayakan untuk mendidik seorang anak maka mereka harus benar-benar mengerjakan tugas ini dengan sangat baik karena dengan mendidik anak dengan baik dan benar maka kelak akan menuai generasi-generasi yang kuat.
Pada akhirnya, saya mengajak kita semua untuk memikirkan bagian ini dan bahkan mengambil langkah konkrit untuk menciptakan keluarga-keluarga yang menemukan ‘kekayaannya’. Saya tidak hanya berbicara pada setiap orang tua, tapi saya rindu kita pun sebagai anak dapat mengambil peran yang sangat baik dalam keluarga kita masing-masing. Jika anda pernah terluka dalam keluarga anda – entah anda sebagai orang tua ataupun sebagai anak – pertama-tama yang harus anda lakukan adalah melepaskan pengampunan untuk orang yang telah melukai anda, anda harus mengalami pemulihan, pulih terhadap diri dan orang lain karena pengampunan yang anda lepaskan itu akan sangat mempengaruhi langkah anda selanjutnya. Anda akan bertumbuh dengan luar biasanya karena anda melepaskan penghambat-penghambat pertumbuhan rohani anda – luka batin. Hendaklah kita belajar dari seorang tokoh Alkitab yang sangat luar biasa melepaskan pengampunan bagi saudara-saudaranya, Yusuf. Peristiwa kelaparan yang Tuhan izinkan waktu itu, membuat Yusuf harus bertemu dengan saudara-saudaranya dan menyelesaikan konflik diantara mereka, ya, Yusuf harus bertemu dengan orang-orang yang telah membuatnya menderita dan mengalami luka batin yang dalam, namun Yusuf dengan kasih yang besar melepaskan pengampunan kepada saudara-saudaranya dengan berkata : ” Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar” (Kej 50:20). Selanjutnya marilah kita mengerjakan peran kita masing-masing dengan baik. Jika anda adalah orang tua, jadilah orang tua terbaik, jika anda seorang anak, jadilah anak terbaik. Inilah yang telah kulakukan, mengampuni masa lalu (dengan ragam konflik dengan orang tua dan saudara) sehingga ‘kekayaan’ itu bisa kutemukan. So.. rekan-rekan yang khususnya belum menikah marilah kita punya spirit yang sama dalam membangun bangsa melalui keluarga-keluarga yang kelak Tuhan percayakan dan untuk para orang tua, anda belum terlambat untuk memulainya, anda masih dapat melakukannya. Belajarlah dari orang tua saya yang telah menjadi orang tua terbaik bagi anak-anaknya, dan untuk anda yang telah melakukan hal ini dengan baik, teruslah melakukannya dengan terbaik, saya sangat mengapresiasi anda karena anda telah memelihara nilai-nilai kebenaran dalam keluarga anda. Karena untuk mengubahkan sebuah keluarga dimulai dengan perubahan diri sendiri, untuk mengubahkan sebuah masyarakat dimulai dari perubahan keluarga, untuk mengubahkan sebuah bangsa dimulai dari perubahan sebuah masyarakat, dan untuk mengubah dunia dimulai dari perubahan sebuah bangsa.
Temukanlah ‘kekayaan’ anda saat ini juga.
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap. Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu. Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal. Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih. (1 Kor 13:4-13)